Friday, August 12, 2011

Peluk Aku Ukhty

Seorang remaja, sebut saja Nia, tertegun, kikuk, dan serba salah. Dia merasa seperti orang asing di tengah-tengah sekumpulan wanita lain seperti dirinya.

Sebagai seorang muslimah yang sedang mulai melek syariat, dia memang sedang haus-hausnya akan ilmu agama yang lurus. Meski harus berjibaku dengan rasa sungkan untuk hadir di majelis taklim itu, ia paksakan diri juga. Dengan sedikit ragu, ia masuk ke ruangan khusus akhwat, di masjid sebuah ma’had di kotanya.

Setelah dapat duduk dan berbasa basi sebentar dengan kiri kanan, ia mulai konsentrasi menyimak materi. Di tengah kajian, ada semacam kegelisahan berkecamuk dalam jiwanya. Kesejukan hati dari siraman rohani menjadi sedikit terganggu dengan keresahan yang merasuk pelan, menohok perasaan. Keresahan yang bisa disebut sebagai kejanggalan, kenapa di tengah suasana seramai itu, ia justru merasa sendiri ?

Benar, di siang yang terik itu, ia sungguh merasa sebagai mahluk dari planet lain. Beragam pertanyaan menyesaki pikirannya. Bukankah kita berada di sini dalam acara yang sama, dengan niat dan tujuan yang juga tidak berbeda? Kenapa aku tak bisa merasa nyaman seperti akhwat-akhwat itu yang asyik bergerombol dengan sesama kawannya. ?

Pada poin ini, ia baru menyadari kenapa muncul perasaan ini. Penampilannya, sangat berbeda dengan mereka kebanyakan mereka. Dengan hijab “biasa”, tak bercadar, jubah juga masih umum, warna juga belum “standar”, ia benar-benar jadi “bintang tamu” acara itu.

Suara speaker yang keras, ditingkahi berisiknya anak-anak yang pada rewel, masih kalah dibanding kerasnya pertanyaan yang mencubit-cubit hatinya. Bukankah aku ini “orang baru”, dan kalian sangat senang dengan masuknya orang-orang sepertiku? Kenapa kalian justru cuek padaku?

Bagaimana kalau aku kapok dan tidak mau taklim lagi? Bagaiman kalau aku “lari”, bukan karena menolak dakwah kalian, tapi justru gara-gara ketidakpedulian dan egoisme yang kalian pertontonkan, yang sangat menyakiti perasaanku? Bagaimana jika di tengah kebimbangan, rapuhnya iman, minimnya ilmu, dan kurangnya teman yang menguatkan, datang orang sesat yang merayu dan meluluhkan hatiku? Bagaimana kalau kejadian ini tak hanya menimpaku, tapi juga oleh ribuan, dan jutaan “aku” yang lain?

Ya, meski sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu, dan kini ia juga sudah berpenampilan syar’I seperti akhwat-akhwat di kajian itu, mimpi buruk itu selalu saja mengganggu. Pertanyaan bernada protes, masih saja nyelonong tanpa permisi saat ia saksikan lagi peristiwa yang serupa sekarang ini. Meski menyesakkan, ia tak pernah lupa menjadikannya pelajaran, untuk menghargai siapapun “aku” itu.

1 comments:

Anonymous said...

ass..
mgkin aq sama sperti ukhty yg mnjd tokoh dlm tulisan tsb d ats!blhkah aq mnt petunjuk bgaiman cara berpakaian

Post a Comment